Jakarta, Amakomedia.com – Anggota Komisi IV DPR RI Rahmat Saleh menegaskan generasi muda menjadi segmen kunci dalam kontestasi politik Indonesia.
Untuk itu, generasi muda (gen Y dan Z, red) sekarang diminta untuk memiliki literasi kritis, generasi Y dan Z rawan diarahkan oleh popularitas dan tren, bukan pada substansi kebijakan.
Ini diungkapkan Rahmat Saleh dalam seminar sekaligus peluncuran buku Prosumenesia: Transformasi Media Digital dalam Politik dan Demokrasi di Ruang GBHN, DPR, Kamis (11/9/2025).
Ia menjelaskam, “Prosumenesia” adalah istilah baru dalam peta komunikasi digital Indonesia, dan baru diperkenalkan pertama kali saat buku ini diluncurkan sekitar tahun 2024.
“Salah satu temuan penting buku tersebut adalah besarnya peran generasi milenial dan Gen Z yang mencakup sekitar 60 persen pemilih pada Pilpres 2024,” katanya.
Dalam buku itu, lanjutnya, tim penulis menganalisis bagaimana generasi digital native ini menjadikan media sosial sebagai ruang utama.
Ini untuk mendapatkan informasi, berdiskusi, membangun opini, hingga mengekspresikan identitas politiiterk.
“Buku itu juga mengungkap partisipasi politik digital Gen Z yang berlangsung cepat, instan, dan masif, melalui kampanye tagar, petisi daring, hingga kampanye viral,” ucapnya/
Dirinya menilai, bahasa media yang provokatif dan simbolik membuat isu politik lebih cepat menjadi tren.
Tanpa literasi kritis, sebut Rahmat Saleh, pemilih muda rentan diarahkan oleh popularitas dan tren, alih-alih menilai substansi kebijakan.
“Implikasi dari kondisi ini jelas. Generasi Y dan Z merupakan segmen kunci sekaligus arena perebutan narasi utama dalam pemilu,” jelasnya.
Dalam kesempatan itu, Rahmat juga menyampaikan sejumlah rekomendasi.
Untuk kebijakan, ia menekankan perlunya transparansi kepemilikan media, diversifikasi media, serta pelibatan generasi muda dalam forum legislasi.
Dia mengingatkan KPU dan Bawaslu agar memastikan kampanye digital menyertakan substansi program menyediakan kanal pemeriksaan fakta.
Selain itu juga dapat menghadirkan debat publik digital yang ramah bagi Gen Z.
Adapun rekomendasi lain ditujukan kepada komunitas pemuda dan civil society. Rahmat menilai pentingnya penguatan literasi media.
‘Kemudian pada penciptaan ruang deliberasi digital, serta keterlibatan generasi muda sebagai produsen konten politik alternatif.
Dengan regulasi jelas, media yang beragam, serta literasi kritis yang kuat, generasi muda dapat mendorong politik jadi arena transformasi demokrasi sehat.
Peluncuran buku ini turut dihadiri penulis DIK 33 seperti Andre Sainyakit dan Mira Natalia Pelu, serta penelaah independen Johanes Basuki.
Hadir pula Kaprodi Ilmu Komunikasi Pascasarjana Usahid Prasetya Yoga Santoso, editor buku Mirza Ronda, dan Wakil Ketua Komisi I DPR Sukamta.
Sedangkan, Sukamta menyebut era digital sebagai pisau bermata dua. Ia menilai, era ini memang memberi ruang partisipasi luas.
Ini sekaligus membawa tantangan berupa misinformasi, disinformasi, filter bubble, echo chamber, hingga potensi polarisasi masyarakat.
Era prosumen sendiri dianggap telah mengubah pola komunikasi dari satu arah menjadi kolaboratif dan berbasis partisipasi.
Individu kini bukan hanya mengonsumsi informasi, tetapi juga memproduksi serta menyebarkannya.
Mira Natalia mencontohkan fenomena FOMO di media sosial, di mana masyarakat rela mengantre membeli cokelat Dubai meski rasanya tidak sebanding harganya.
“Ini membuktikan terjadinya Prosumen di Indonesia (Prosumenesia),” ujarnya.
Sementara itu, penulis buku, Andre Sainyakit menekankan perlunya komunikasi politik berbasis perdamaian.
“Politik yang damai berarti politik yang membuka ruang dialog, mendengar aspirasi, dan berani berpihak pada keadilan substantif,” katanya.
Seminar dihadiri ratusan peserta dari kalangan akademisi, politisi, mahasiswa, hingga tenaga ahli DPR. (*)
