Padang, Amakomedia.com – Kasus pelecehan seksual oleh dokter kandungan MSF saat pemeriksaan ultrasonografi (USG) memunculkan berbagai reaksi masyarakat.
Kejadian itu cukup disayangkan oleh Direktur Utama RSUP Dr M Djamil Padang, Dr. dr. Dovy Djanas, Sp.OG, KFM, MARS, FISQua.
Menurutnya, ada standar operasional prosedur (SOP) dari seorang dokter laki-laki ahli kandungan terutama saat melakukan pemeriksaan intim seperti pemeriksaan panggul.
“Dalam standar itu, adalah kehadiran tenaga medis pendamping sebagai upaya perlindungan terhadap pasien yang diperiksa dokter kandungan laki-laki itu,” kata Dovy Djanas.
Terhadap SOP yang ada, Dovy Djanas juga meminta pasien juga harus memahaminya bagaimana proses pemeriksaan yang benar saat berkunjung ke dokter kandungan.
Ia mengatakan tenaga medis pendamping ini biasanya adalah tenaga medis perempuan seperti bidan atau perawat.
Pasien berhak meminta pendamping jika belum disediakan dan dapat menunda pemeriksaan jika merasa tidak nyaman.
”Dokter yang profesional akan menghormati keputusan pasien tersebut,” tutur Dovy yang juga dokter spesialis kandungan ini.
Kehadiran pendamping ini, sebutnya, bukan hanya untuk melindungi pasien. Akan tetapi juga untuk melindungi dokter dari kemungkinan kesalahpahaman.
”Oleh karena itu, jika pasien merasa ragu atau tidak nyaman tanpa pendamping, ia berhak untuk meminta tenaga medis perempuan sebagai saksi,” ungkap Dovy.
Ia menjelaskan, secara hukum dan etika kedokteran, dokter obgyn, baik laki-laki maupun perempuan, memiliki kompetensi yang sama dalam memberikan pelayanan kesehatan reproduksi.
Profesi kedokteran diatur oleh sumpah dan kode etik yang mewajibkan setiap dokter bertindak profesional, menjaga kerahasiaan pasien.
Bahkan harus menghormati integritas tubuh pasien dan menghindari segala bentuk pelecehan.
”Oleh karena itu, pasien berhak mendapatkan pelayanan terbaik dari dokter, tanpa memandang jenis kelamin dokter, selama prinsip profesionalisme dan etika dijaga,” tegasnya.
Di Indonesia, jumlah dokter obgyn laki-laki masih lebih banyak dibanding perempuan, terutama di daerah-daerah.
Dalam beberapa kasus, dokter laki-laki bisa jadi satu-satunya pilihan untuk mendapatkan pelayanan spesialis.
”Menolak pemeriksaan karena jenis kelamin dokter, padahal membutuhkan penanganan segera, berisiko menyebabkan keterlambatan diagnosis dan pengobatan,” ucapnya.
Bagi seorang dokter, tubuh pasien diperlakukan sebagai struktur anatomi yang perlu diperiksa untuk kepentingan medis, bukan sebagai objek seksual.
Dokter dilatih untuk bersikap profesional dan objektif dalam setiap tindakan medis.
”Semua pemeriksaan dilakukan dengan teknik yang baku dan berdasarkan indikasi medis, bukan atas dasar kehendak pribadi dokter,” sebut Dovy.
Ia mengatakan tidak ada larangan medis atau hukum bagi perempuan untuk diperiksa oleh dokter obgyn laki-laki, asalkan dilakukan secara profesional, etis, dan dengan persetujuan pasien.
”Pasien berhak merasa aman, dan dokter wajib menjaga kenyamanan serta keamanan tersebut,” tukasnya. (fjr)